Tentang Saya

Foto saya
Medan, sumatera utara, Indonesia

Sabtu, 24 Oktober 2009

Hukum Merek Di indonesia


PENGERTIAN MEREK
MEREK ADALAH SUATU TANDA YANG BERUPA GAMBAR, NAMA, KATA, HURUF-HURUF, ANGKA-ANGKA, SUSUNAN WARNA ATAU KOMBINASI DARI UNSUR-UNSUR TERSEBUT YANG MEMILIKI DAYA PEMBEDA DAN DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN PERDAGANGAN BARANG DAN JASA


Undang - undang yang mengatur tentang merek:
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)

DAYA PEMBEDA MEREK
• MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK DIGUNAKAN SBG TANDA YANG DAPAT MEMBEDAKAN HASIL PERUSAHAN YANG SATU DENGAN PERUSAHAAN YANG LAIN


FUNGSI MEREK
• SBG TANDA PENGENAL UTK MEMBE DAKAN HASIL PRODUKSI YANG DIHASILKAN SESEORANG ATAU BE BERAPA ORANG SECARA BERSAMA SAMA ATAU BDAN HUKUM DGN PRO DUKSI SESEORANG/BBRP ORANG ATAU BADAN HUKUM LAIN
• SBG ALAT PROMOSI, SEHINGGA MEM PROMOSIKAN HSL PRODUKSINYA CU KUP DGN MENYABUT MEREKNYA
• SBG JAMINAN ATAS MUTU BARANG NYA


JENIS MEREK
 MEREK Dagang
MEREK YANG DIGUNAKAN PADA BARANG YANG DIPERDAGANGKAN OLEH SESEORANG ATAU BBRP ORANG SECARA BERSAMA-SAMA ATAU BADAN HUKUM UNTUK MEMBEDAKAN DENGAN BARANG BARANG SEJENIS LAINNYA
 MEREK JASA
MEREK YANG DIGUNAKAN PD JASA YANG DIPERDAGANGKAN OLEH SE- SEORANG ATAU BBRP ORANG SECA RA BERSAMA-SAMA ATAU OLEH BA DAN HUKUM UNTUK MEMBEDAKAN DENGAN JASA-JASA SEJENIS LAIN – NYA
 MEREK KOLEKTIF
MEREK YANG DIGUNAKAN PADA BA RANG DAN ATAU JASA DGN KARAK TERISTIK YANG SAMA, YANG DIPER DAGANGKAN OLEH SESEORANG ATAU BBRP ORANG ATAU BADAN HUKUM SECARA BERSAMA-SAMA UNTUK MEMBEDAKAN DENGAN BARANG DAN/ATAU JASA SEJENIS LAINNYA


HAK ATAS MEREK
• HAK EKSKLUSIF YANG DIBERIKAN NEGARA KPD PEMILIK MEREK YANG TERDAFTAR DALAM DAFTAR UMUM MEREK UNTUK JANGKA WAKTU TERTENTU UNTUK MENGGUNAKAN SENDIRI MEREK TSB ATAU MEMBERIKAN IZIN KEPADA ORANG LAIN UNTUK MENGGUNAKANNYA


MEREK YANG TIDAK DAPAT DIDAFTAR
• MEREK TIDAK DAPAT DIDAFTAR ATAS DASAR PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON YANG BERITIKAT TIDAK BAIK
• PEMOHON ADA NIAT DAN SENGAJA UTK MENIRU, MEMBONCENG ATAU MENJIPLAK KETENARAN MEREK LAIN DEMI KEPENTINGAN USAHANYA YANG MENGAKIBAT KAN MENIMBULKAN KERUGIAN PIHAK LAIN ATAU MENYESATKAN KONSUMEN


PEMOHON PENDAFTARAN MEREK
• ORANG PESEORANGAN
• BADAN HUKUM
• BEBERAPA ORANG / BADAN HUKUM (PEMILIKAN BERSAMA/MEREK KLEKTIF)


FUNGSI PENDAFTARAN MEREK
• SBG BUKTI BAGI PEMILIK YANG BERHAK ATAS MEREK YANG TER- DAFTAR
• SBG DASAR PENOLAKAN TERHADAP MEREK YG SAMA KESELURUHAN / SAMA PADA POKOKNYA YANG DIMO HONKAN OLEH PEMOHON LAIN UTK BARANG /JASA SEJENIS
• SBG DASAR UTK MENCEGAH ORANG LAIN MEMAKAI MEREK YANG SAMA KESELURUHAN ATAU SAMA PADA POKOKNYA DLAM PEREDARAN UNTUK BARANG/JASA SEJENIS


HAL-HAL YANG MENYEBABKAN SUATU MEREK TIDAK DAPAT DIDAFTARKAN
• DIDAFTARKAN OLEH PEMOHON YANG BERETIKAD TIDAK BAIK;
• BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU, MORALITAS KEAGAMAAN, KESUSILAAN, ATAU KETERTIBAN UMUM;
• TIDAK MEMILIKI DAYA PEMBEDA;
• TELAH MENJADI MILIK UMUM; ATAU
• MERUPAKAN KETERANGAN ATAU BERKAITAN DENGAN BARANG ATAU JASA YANG DIMOHONKAN PENDAFTARANNYA.
(PASAL 4 & PASAL 5 UUM)


HAL-HAL YANG MENYEBABKAN SUATU PERMOHONAN MEREK HARUS DITOLAK OLEH DIRJEN HKI
• MEMPUNYAI PERSAMAAN PADA POKOKNYA ATAU KESELURUHANNYA DENGAN MEREK MILIK PIHAK LAIN YANG SUDAH TERDAFTAR LEBIH DAHULU UNTUK BARANG DAN/ATAU JASA YANG SEJENIS;
• MEMPUNYAI PERSAMAAN PADA POKOKNYA ATAU KESELURUHANNYA DENGAN MEREK YANG SUDAH TERKENAL MILIK PIHAK LAIN UNTUK BARANG DAN/ATAU JASA.
• MEMPUNYAI PERSAMAAN PADA POKOKNYA ATAU KESELURUHANNYA DENGAN MEREK YANG SUDAH TERKENAL MILIK PIHAK LAIN UNTUK BARANG DAN/ATAU JASA YANG TIDAK SEJENIS SEPANJANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU YANG DITETAPKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH;
• MEMPUNYAI PERSAMAAN PADA POKOKNYA ATAU KESELURUHANNYA DENGAN INDIKASI GEOGRAFIS YANG SUDAH DIKENAL;
• MERUPAKAN ATAU MENYERUPAI NAMA ORANG TERKENAL, FOTO, ATAU NAMA BADAN HUKUM YANG DIMILIKI ORANG LAIN, KECUALI ATA PERSETUJUAN TERTULIS DARI YANG BERHAK;
• MERUPAKAN TIRUAN ATAU MENYERUPAI NAMA ATAU SINGKATAN NAMA, BENDERA ATAU LAMBANG ATAU SIMBOL ATAU EMBLEM SUATU NEGARA ATAU LEMBAGA NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL,KECUALI ATAS PERSETUJUAN TERTULIS DARI PIHAK YANG BERWENANG
• MERUPAKAN TIRUAN ATAU MENYERUPAI TANDA ATAU CAP ATAU STEMPEL RESMI YANG DIGUNAKAN OLEH NEGARA ATAU LEMBAGA PEMERINTAHAN, KECUALI ATAS PERSETUJUAN TERTULIS DARI PIHAK YANG BERWENANG


PERSAMAAN PADA MEREK, POKOK NYA ADALAH
• KEMIRIPAN YANG DISEBABKAN OLEH ADANYA UNSUR-UNSUR YANG MENONJOL ANTARA MEREK YANG SATU DENGAN YANG LAIN YANG DAPAT MENIMBULKAN KESAN ADANYA PERSAMAAN BAIK MENGE NAI BENTUK, CARA PENEMPATAN, CARA PENULISAN ATAU KOMBINASI ANTARA UNSUR-UNSUR ATAU PERSAMAAN BUNYI UCAPAN YANG TERDAPAT DALAM MEREK TSB


PENGHAPUSAN MEREK TERDAFTAR
• ATAS PRAKARSA DIRJEN HKI
• ATAS DASAR PERMOHONAN DARI PE MILIK MEREK YBS
• ATAS PUTUSAN PENGADILAN BERDASARKAN GUGATAN PENGHA- PUSAN
• TIDAK DIPERPANJANG JANGKA WAKTU BERLAKU PENDAFTARAN MEREK


DASAR PENGHAPUSAN MEREK
• MEREK TIDAK DIPERGUNAKAN SELA MA TIGA TAHUN BERTURUT-TURUT DALAM PERDAGANGAN BARANG ATAU JASA SEJAK TANGGAL PENDAFTARAN ATAU PEMAKAIAN TERAKHIR
• MEREK DIGUNAKAN UNTUK JENIS BARANG/JASA YANG TIDAK SESUAI DENGAN JENIS BARANG /JASA YANG DIMOHONKAN


MEREK TERDAFTAR DIBATALKAN
• MEREK TERDAFTAR DAPAT DIBA- TALKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA YANG BERKE KUATAN HUKUM TETAP ATAS GUGATAN PIHAK YANG BERKEPEN TINGAN DGN ALASAN BERDASAR - KAN PASAL-PASAL 4, 5 DAN 6 UUM


JANGKA WAKTU DAN PERPANJANGAN MEREK
• MEREK TERDAFTAR MENDAPAT PER LINDUNGAN HUKUM UNTUK JANGKA WAKTU 10 TAHUN SEJAK TANGGAL PENERIMAAN DAN JANGKA WAKTU TSB DAPAT DIPER- PANJANG.
• PERMOHONAN PERPANJANGAN DIAJUKAN SECARA TERTULIS OLEH PEMILIK MEREK ATAU KUASANYA DALAM JANGKA WAKTU 12 BULAN SEBELUM BERAKHIR JANGKA WAKTU PERLINDUNGAN MEREK TERDAFTAR TERSEBUT


PERMOHONAN PERPANJANGAN MEREK DISETUJUI
• BILA MEREK YBS MASIH DIGUNAKANPADA BARANG/JASA SE BAGAIMANA YANG DISEBUT PADA MEREK TSB
• BARANG ATAU JASA DARI MEREK TERSEBUT MASIH DIPRODUKSI DAN DIPERDAGANGKAN


PERPANJANGAN MEREK DITOLAK JIKA
• Permohonan ditolak apabila permohonan perpanjangan di ajukan kurang dari 12 bulan dari masa berakhirnya perlindungan hukum merek tersebut
• Apabila mempunyai persamaan pada pokok atau merek terke nal milik orang lain
• Indikasi geografi ,
• Suatu tanda yang menunjuk kan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkung- angeografis termasuk faktor alam, manusia atau kombinasi dari kedua faktor tsb memberi kan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan
• Indikasi asal
• Suatu tanda yang memenuhi ke tentuan tanda indikasi geogra fis yang tidak didaftarkan / se mata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa
• Pihak yg mengajukan pendaftaran
• Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang produksi barang yang bersangkutan
• Lembaga yang diberi kewenang an untuk itu, atau
• Kelompok konsumen barang tersebut


Prosedur Permohonan Pendaftaran Merek berdasarkan Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001

1. Permohonan pendaftaran Merek diajukan dengan cara mengisi formulir yang telah disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan diketik rangkap 4 (empat).
2. Pemohon wajib melampirkan:

* surat pernyataan di atas kertas bermeterai cukup yang ditanda tangani oleh pemohon (bukan kuasanya), yang menyatakan bahwa merek yang dimohonkan adalah miliknya;
* surat kuasa khusus, apabila permohonan pendaftaran diajukan melalui kuasa;
* salinan resmi akta pendirian badan hukum atau fotokopinya yang dilegalisasi oleh notaris, apabila pemohon badan hukum;
* 24 (dua puluh empat) lembar etiket merek (4 lembar dilekatkan pada formulir) yang dicetak diatas kertas;
* fotokopi kartu tanda penduduk pemohon;
* bukti prioritas asli dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, apabila permohonan dilakukan dengan hak prioritas; dan
* bukti pembayaran biaya permohonan sebesar Rp. 450.000,- (empat ratus lima puluh ribu rupiah).

Jumat, 23 Oktober 2009

Perjanjian Bukan Lagi Sumber Sengketa


Di dalam perkembangan masyarakat yang komplek seperti sekarang ini, kita sering menyaksikan dan mendengarkan, baik melalui media informasi maupun di dalam pergaulan masyarakat, ada seseorang yang dengan teganya melakukan penyiksaan, pencurian bahkan pembunuhan kepada rekannya atau kerabatnya yang disebabkan persoalan hutang piutang atau persoalan yang berasal dari perjanjian yang telah mereka lakukan.

Tulisan ini akan berusaha menjelaskan dan menerangkan kepada setiap pembaca mengenai hal-hal yang penting yang harus diketahui dalam melakukan sebuah perjanjian.
Mengingat, walaupun perjanjian sangat sederhana dan biasa dilakukan oleh masyarakat, tetapi tidak sedikit permasalahan besar muncul akibat perjanjian yang disebabkan kurangnya pengetahuan dari perjanjian yang telah mereka sepakati.

Sebelum kita melangkah lebih jauh hendaknya perlu diketahui bahwa sebuah perjanjian dilandasi oleh tiga azas yaitu :
1. Azas konsensualitas, seperti tercantum dalam pasal 1320 KUHPDT yang berarti setiap perjanjian timbul apabila telah adanya kesepakatan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut;
2. Azas kekuatan mengikat, seperti tercantum dalam pasal 1338 KUHPDT yang berarti setiap perjanjian yang telah dibuat akan berlaku mengikat seperti Undang-Undang terhadap pihak-pihak yang telah melakukan perjanjian tersebut;
3. Azas kebebasan berkontrak yang berarti setiap orang bebas menentukan isi perjanjian dan bebas memilih dengan siapa Ia melakukannya, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang serta kepentingan umum.

Secara umum ada dua syarat yang menentukan sahnya sebuah perjanjian yaitu :
1. Syarat subjektif yaitu tidak terpenuhinya persyaratan ini mengakibatkan sebuah perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ini terbagi atas :
a. Adanya kesepakatan tercantum dalam pasal 1320 KUHPDT yang berarti perjanjian harus dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan dapat terlihat dari adanya pemberian dan penerimaan hak dan kewajiban antara para pihak. Kesepakatan tidak berlaku apabila dilakukan dengan penipuan, pemaksaan, kekhilafan atau pemalsuan. Hal ini dilandasi dengan adanya Pasal 1321, 1323, 1324, 1325, 1326, 1327 serta 1328 KUHPDT;
b. Cakap, seperti yang tercantum dalam Pasal 1330 KUHPDT, yang berarti seseorang yang melakukan perjanjian harus dianggap mampu, seperti telah dewasa, tidak sakit ingatan, tidak dalam pengampuan atau tidak sedang dicabut haknya;

2. Syarat objektif yaitu tidak terpenuhinya persyaratan ini mengakibatkan perjanjian batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada. Syarat objektif ini terbagi atas :
a. Hal tertentu [objek perjanjian], seperti yang tercantum dalam Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPDT, yang berarti setiap objek yang diperjanjikan harus ditentukan terlebih dahulu. Seperti jenis, kualitas atau kuantitas dari barang atau jasa yang dijadikan objek perjanjian. Selain itu, objek yang diperjanjikan harus bersifat halal yang berarti tidak bertentangan dengan kepentingan umum, norma dan hukum yang berlaku;
b. Suatu sebab yang halal, seperti tercantum dalam Pasal 1335, 1336 serta Pasal 1337 KUHPDT, yang berarti setiap orang yang terlibat dalam sebuah perjanjian harus memiliki tujuan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum, norma-norma yang berkembang dan hukum positif yang berlaku. Contoh, dilarang melakukan perjanjian untuk meledakkan sebuah bahan peledak yang bertujuan negatif.

Setelah perjanjian dibuat, maka kita harus mengetahui pada saat apa perjanjian tidak dapat diberlakukan lagi. Di dalam KUHPDT terutama bab 4 buku 3 pasal 1381 dapat membantu kita untuk menentukan pada saat kapan perjanjian sudah tidak berlaku lagi.
Ada beberapa hal yang dapat kita ambil sebagai ukuran sebuah perjanjian dapat dikatakan tidak berlaku lagi, diantaranya :
1. Telah adanya pembayaran atau pelaksanaan dari isi perjanjian;
2. Adanya pembaharuan perikatan atau perjanjian yang mengakibatkan terhapusnya isi perjanjian sebelumnya,seperti yang tercantum dalam Pasal 1413 KUHPDT;
3. Adanya perjumpaan utang, ini berarti sejumlah hutang piutang dapat diselisihkan antara utang satu dengan yang lainya apabila diantara pihak yang melakukan hutang piutang sama-sama memiliki tagihan antara satu dengan lainya, seperti yang tercantum dalam Pasal 1425 KUHPDT;
4. Adanya pembebasan hutang atau perjanjian oleh orang atau pihak yang memiliki hak dalam suatu perjanjian, seperti yang tercantum dalam bagian 6 buku 3 KUHPDT;
5. Musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian. Perlu diketahui, bahwa musnahnya objek perjanjian bukan disengaja dan bukan bertujuan untuk melepaskan kewajiban dalam melaksanakan isi perjanjian, seperti yang tercantum dalam Pasal 1444 KUHPDT;
6. Adanya pembatalan perjanjian karena isi perjanjian telah bertentangan dengan hukum positif yang berlaku ataupun telah bertentangan dengan kepentingan umum, seperti yang dijelaskan dalam bagian 8 Buku 3 KUHPDT;
7. Perjanjian yang telah dibuat telah memasuki waktu kadaluarsa. Biasanya waktu kadaluarsa ditentukan oleh Undang-Undang atau didasarkan atas persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam perjanjian kedua belah pihak.

Setelah mengetahui secara umum dan singkat mengenai unsur-unsur penting dari sebuah perjanjian dan faktor-faktor penghapus dari sebuah perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak, maka penulis menyarankan, supaya para pihak yang mengadakan perjanjian memperhatikan hal-hal seperti di bawah ini :
1. Sebelum kita melakukan sebuah perjanjian hendaknya harus dipahami mengenai hak dan kewajiban yang akan didapatkan oleh masing-masing pihak.
2. Hendaknya setiap perjanjian yang akan dibuat dilakukan secara tertulis, terperinci, bersaksi atau bermaterai, apabila isi dan pelaksanaan dari perjanjian merupakan hal penting dan besar. Hal ini bertujuan untuk menghindari sengketa dari kedua belah pihak di kemudian hari.
3. Hendaknya di dalam isi perjanjian dicantumkan penyelesaian alternatif, apabila sengketa yang berkaitan dengan perjanjian yang telah disepakati terjadi. Hal ini bertujuan supaya setiap sengketa yang mungkin terjadi dapat diselesaikan secara baik-baik dan tidak merugikan kedua belah pihak yang bersengketa.
4. Hendaknya setiap pihak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, seperti yang telah disepakati dalam perjanjian.
5. Hendaknya setiap pihak yang menyepakati perjanjian tersebut dapat melakukannya dengan itikad baik.

Dengan adanya pengetahuan mengenai unsur-unsur penting yang ada dalam sebuah perjanjian, seperti yang telah dijelaskan di atas, diharapkan masyarakat secara umum dapat melakukan perjanjian, melaksanakan isi perjanjian, serta menyelesaikan sengketa yang timbul karena perjanjian secara bijak dan dewasa. Mengingat dalam setiap perjanjian selalu memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang menyepakati perjanjian tersebut.
Dengan alasan demikian, perjanjian yang telah disepakati, tidak dapat lagi dijadikan alasan perpecahan atau pun pertentangan diantara pergaulan antar individu di dalam masyarakat.

Artikel telah disusun, dan telah ditulis oleh Rizky Harta Cipta SH. MH,Copyright © hukumpositif.com

TEORI PERIKATAN DI INDONESIA

Menurut hukum perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu, sedangkan menurut Vollmar bahwa ditinjau dari isinya, perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim. Pengertian prestasi adalah apabila dua orang mengadakan perjanjian ataupun apabila undang-undang dengan terjadinya suatu peristiwa untuk menciptakan suatu perikatan untuk memenuhi sesuatu kewajiban.

Perikatan memiliki empat unsur, yaitu : a) hubungan hukum, b) kekayaan, c) pihak-pihak dan d) prestasi (obyek hukum). Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai kriteria tertentu yaitu ukuran-ukuran yang digunakan terhadap sesuatu hubungan hukum sehingga hubungan hukum itu dapat disebutkan suatu perikatan.

Didalam perkembangan sejarah, apa yang dipakai sebagai kriteria itu tidak tetap, dahulu yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan. Sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan.

Apabila hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih, yaitu pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang. Mereka ini yang disebut subyek perikatan. Seorang debitur harus selamanya diketahui, karena seseorang tentu tidak dapat menagih dari seseorang yang tidak dikenal, lain halnya dengan kreditur boleh merupakan seseorang yang tidak diketahui, artinya penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak tanpa bantuan debitur, bahkan dalam lalu lintas perdagangan yang tertentu penggantian itu telah disetujui terjadi sejak semula. Apabila dalam suatu perikatan kreditur itu ditentukan atau dikenal, maka kreditur yang seperti ini disebut kreditur yang memiliki gugatan atas nama (vordering op naam). Dengan demikian maka penggantian kedudukan debitur hanya dapat terjadi apabila kreditur telah memberikan persetujuan, misalnya pengambilalihan utang (schuldoverneming)

Didalam perikatan pihak-pihak kreditur dan debitur itu dapat diganti. Penggantian debitur harus diketahui atau persetujuan kreditur, sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak, bahkan untuk hal-hal tertentu pada saat suatu perikatan lahir antara pihak-pihak, secara apriori disetujui hakikat penggantian kreditur. Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus satu orang kreditur dan sekurang-kurangnya satu orang debitur, namun tidak menutup kemungkinan dalam satu perikatan itu tedapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur.

Seorang kreditur dapat mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kualitatif, sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kualitatif Penggantian kreditur dapat pula terjadi dengan subrogasi. Menurut Asser"s (Handeling tot de beofening van het Ned Burgerlijkrecht, 1967) bahwa sejak saat suatu perikatan dilakukan, pihak kreditur dapat memberikan persetujuan untuk adanya penggantian debitur, misalnya didalam sutu perjanjian jual beli dapat dijanjikan seseorang itu membeli untuk dirinya sendiri dan untuk pembeli-pembeli yang berikutnya. Apabila didalam jual beli ini debitur (pembeli) belum melunaskan seluruh harga beli, maka dalam hal benda itu dialihkan kepada pembeli baru, maka kewajiban untuk membayar tersebut dengan sendirinya beralih kepada pembali itu. Kedudukan debitur dapat berganti dapat atau beralih dengan subrogasi.

Menurut pasal 1234 KUHPerdata, bahwa prestasi dibedakan atas : a) memberikan sesuatu, b) berbuat sesuatu, c) tidak berbuat sesuatu. Kedalam perikatan untuk memberikan sesuatu termasuk pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menuewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak, perikatan untuk melakukan sesuatu misalnya membangun rumah, sedangkan perikatan untuk tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apoteknya untuk tidak menjalankan usaha apoteknya dalam daerah yang sama.

Sumber perikatan menurut Pasal 1352 KUHPerdata, bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang saja (uit de wet alleen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit de wet ten gevolge van's mensen toedoen), sedangkan pasal 1353 KUHPerdata mengatakan bahwa perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad).

Perikatan yang bersunber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut, misalnya kematian dengan meninggalnya seseorang, maka perikatan yang pernah mengikat orang tersebut beralih kepada ahli warisnya, demikian pula kelahiran anak timbul perikatan antara ayah dan ank, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut. Menurut pasal 1321 KUHPerdata, bahwa tiap-tiap anak wajib memberi nafkah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan miskin.

Perkatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingklah laku sesorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum dibolehkan undang-undang atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang (melawan hukum). Perikatan sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata bahwa undang-undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi. Dengan meletakan kewajiban memberi ganti rugi antara orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum kepada orang yang menderita kerugian karena perbuatan itu, lahirlah suatu perikatan diluar kemauan kedua orang tersebut, sedangkan perikatan akibat perbuatan mengurus kepentingan orang lain secara suka rela (zaakwaarneming) diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata yang menyatakan jika seseorang dengan sukarela, tanpa mendapat perintah untuk itu, mengurus urusan orang lain, maka Ia berkewajiban untuk meneruskan menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya, dan mengganti semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi.

Sumber pustaka : Mariam,D.B., Sutan Remy .S., Heru.S., Faturrahman Dj., dan Taryana Soenandar. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan., Ed. Pertama., Citra Aditya Bakti., Bandung.

Rabu, 14 Oktober 2009

Hukum Perdata Di indonesia


HUKUM DI INDONESIA

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

1. Hukum perdata Indonesia

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:

  • Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
  • Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
  • Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
  • Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.