Tentang Saya

Foto saya
Medan, sumatera utara, Indonesia

Jumat, 25 Juni 2010

Perbedaan antara Legalisasi dan Register (Waarmerking)

1. Legalisasi

Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa ybs tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut.

Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tanda-tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda-tangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya: dokumen yang ditulis dalam bahasa mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh notaris yang bersangkutan) atau notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertanda-tangan.

2. Register (Waarmerking)

Artinya, dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan.

Contohnya: Surat Perjanjian Kerjasama tertanggal 1 Januari 2008 yang ditanda-tangani oleh Tuan A dan Tuan B. Jika hendak di legalisir oleh Notaris pada tanggal 18 Januari 2008, maka bentuknya tidak bisa legalisasi biasa, melainkan hanya bisa didaftar (waarmerking) saja.

Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Ada dokumen-dokumen tertentu yang akan digunakian sebagai kelengkapan suatu proses mutlak diminta harus dilegalisir, misalnya: di kantor Pertanahan, surat persetujuan dari ahli waris untuk menjaminkan tanah dan bangunan, atau surat persetujuan isteri untuk menjual tanah yang terdaftar atas

nama suaminya dan lain sebagainya. Kalau surat/dokumen tersebut tidak dilegalisir oleh notaris, maka biasanya dokumen tersebut tidak dapat diterima sebagai kelengkapan proses Hak Tanggungan atau jual beli yang dimaksud. Terpaksa pihak yang bersangkutan harus membuat ulang persetujuan dan melegalisirnya di hadapan notaris setempat.

Menyelesaikan Perkara Perdata Secara Cepat


SUDAH menjadi rahasia umum, menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan sangat menyita waktu, tenaga dan biaya. Akumulasi kekecewaan antara lain menghasilkan berbagai sindiran, seperti "lapor kambing, hilang sapi" untuk menggambarkan bagaimana besarnya pengorbanan yang harus dikeluarkan pihak yang berperkara tersebut.

Akan tetapi, bagaimana jika ternyata kita terpaksa harus menggugat, menjadi tergugat atau menjadi turut tergugat dalam perkara perdata? Apakah kita dapat berusaha untuk menghindar dari proses pemeriksaan di pengadilan yang sangat menyita waktu, tenaga dan biaya tersebut?

Jawabannya, dapat. Salah satu peluangnya terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Dengan kata lain, jika kita menjadi pihak yang berperkara (penggugat, tergugat maupun turut tergugat), maka kita dapat mengoptimalkan penyelesaian perkara melalui mediasi yang merupakan suatu metode alternatif penyelesaian sengketa atau disingkat dengan istilah MAPS, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau disingkat dengan istilah ADR.

Di negara maju (dan sudah dimulai oleh beberapa perusahaan besar di Indonesia), penyelesaian sengketa melalui MAPS atau ADR bahkan menjadi klausul (pasal) yang selalu dicantumkan dalam kontrak atau perjanjian, sehingga jika ternyata muncul perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaikannya melalui lembaga MAPS atau ADR tersebut (tidak melalui pengadilan). Dari hal ini dapat kita cermati bahwa MAPS atau ADR telah menjadi strategi preventif untuk mencegah "terjebaknya" para pihak dalam proses "gugat menggugat" di lembaga peradilan.

Lembaga apa saja yang masuk sebagai MAPS atau ADR ?

Pada dasarnya seluruh mekanisme penyelesaian perkara perdata yang diselesaikan dengan tidak menggunakan prosedur beracara di pengadilan dapat dikategorikan dalam MAPS atau ADR. Pada saat ini, mekanisme tersebut sering kita dengar dengan istilah :

- Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartit / dua pihak),

- Mediasi / Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh mediator / konsiliator) dan

- Arbitrase ( penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter ).

Di Indonesia MAPS atau ADR ini bahkan telah telah dilembagakan secara permanen, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang dibentuk berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, serta BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang dibentuk berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999.

Apakah MAPS dan ADR adalah konsep negara asing ?

Sebenarnya MAPS atau ADR bukanlah murni konsep negara asing atau negara maju. Mengapa? Karena pada masyarakat adat di Indonesia, sejak dahulu telah dikenal penyelesaian sengketa alternatif, yaitu dengan menggunakan mekanisme penyelesaian secara adat. Dalam proses penyelesaian yang biasanya dipimpin oleh para tokoh atau pemuka adat, pihak-pihak yang bersengketa akan dipertemukan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum adat masyarakat setempat.

Dalam masyarakat perkotaan di Indonesia, penyelesaian sengketa alternatif tidak lagi menggunakan mekanisme lembaga adat, tetapi menggunakan mediator yang menjadi "penengah" pihak-pihak yang bersengketa. Yang berperan sebagai mediator biasanya adalah pimpinan masyarakat setempat, seperti Ketua RT atau Ketua RW atau bahkan tokoh agama.

Mengapa MAPS dan ADR dinilai prospektif ?

Jawabannya bermacam-macam. Akan tetapi secara sederhana, jika dibandingkan dengan proses pemeriksaan di pengadilan, maka ada beberapa kelebihan yang akan kita dapatkan jika kita menyelesaikan perkara melalui MAPS dan ADR, yaitu :

1. Proses penyelesaian relatif lebih sederhana dan singkat.

Proses penyelesaian dalam MAPS dan ADR dapat dibuat sesederhana mungkin oleh para pihak. Sebagai contoh, dalam menyusun suatu kontrak, para pihak dapat mencantumkan klausul penyelesaian perselisihan dalam dua tahap, yaitu negosiasi dan arbitrase. Dengan kata lain, jika terjadi perselisihan maka para pihak akan menyelesaikannya dengan terlebih dahulu melakukan negosiasi dan jika tidak berhasil maka sengketa akan diserahkan kepada Arbitrase. (Perlu diketahui bahwa putusan arbitrase adalah putusan yang final dan mengikat kedua belah pihak).

Sebaliknya, jika kita menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, maka para pihak wajib mengikuti seluruh proses yang telah diatur dalam hukum acara perdata yang mengatur tata cara pemeriksaaan perkara. Tahap pemeriksaan di pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) berdasarkan hukum acara perdata dimulai dengan pembacaan gugatan, jawaban dan eksepsi, putusan sela, replik, duplik, pemeriksaan alat bukti (bukti surat dan saksi), konklusi atau kesimpulan dan akhirnya putusan majelis hakim. Dalam praktik, dari satu acara pemeriksaan ke acara pemeriksaan selanjutnya akan memakan waktu 1 (satu) minggu. Sehingga jika diestimasi, suatu perkara perdata yang diperiksa oleh pengadilan paling singkat akan memakan waktu 6 (enam) bulan.

Mengapa proses penyelesaian di pengadilan bisa sangat lama ?

Penyebabnya beragam, mulai dari adanya hak para pihak untuk tidak hadir jika berhalangan (dan sering dimanfaatkan untuk mengulur waktu) sampai terbatasnya ruang sidang dan jumlah hakim yang memeriksa perkara (bila dibandingkan dengan berjubelnya kasus yang harus diperiksa pengadilan). Perlu diketahui, hakim yang memeriksa perkara perdata, juga bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara pidana. Karenanya tidak mengherankan jika tumpukan perkara (perdata dan pidana) membuat proses pemeriksaan perkara di pengadilan sering terkesan sangat lamban dan birokratis.

Selain harus mengikuti proses di pengadilan negeri, jika salah satu pihak tidak puas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi bahkan kasasi ke Mahkamah Agung. Tidak mengherankan jika dalam praktik sering ditemukan suatu kasus yang telah sampai ke Mahkamah Agung, ternyata tidak kunjung selesai setelah berjalan selama 5 (lima) tahun lebih, karena di Mahkamah Agung sendiri telah bertumpuk ribuan berkas perkara yang belum diperiksa.

2. Tingkat kerahasiaan para pihak yang berperkara lebih terjaga.

Berbeda dengan proses pemeriksaan di pengadilan yang berpotensi terpublikasi secara luas (karena menurut undang-undang harus terbuka untuk umum), maka proses pemeriksaan perkara dalam MAPS dan ADR dapat dilakukan secara tertutup. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir potensi terpublikasinya sengketa yang mengakibatkan berkurangnya kredibilitas atau rusaknya nama baik para pihak.

3. Hubungan baik para pihak yang bersengketa tetap dapat dijaga.

Di dalam pemeriksaan di pengadilan, suasana yang terbangun antara penggugat dan tergugat cenderung konfrontatif, di mana para pihak akan berusaha semaksimal mungkin untuk saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan di depan majelis hakim. Di dalam MAPS atau ADR suasana yang terbangun tidaklah demikian. Kedua belah pihak akan termotivasi untuk mencari solusi yang terbaik tanpa harus saling menjatuhkan dengan membuktikan kesalahan pihak lawan (hal ini sering ditemukan dalam proses negosiasi dan mediasi, yang mengutamakan prinsip win-win solution).

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa syarat mutlak dari MAPS atau ADR adalah adanya itikad baik dan kejujuran dari kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, disamping adanya kesadaran terhadap kelebihan sebagaimana tersebut diatas, faktor penghormatan para pihak terhadap proses pemeriksaan dan kepatuhan para pihak untuk melaksanakan putusan lembaga ini merupakan faktor utama efektifnya MAPS atau ADR.
Mudah-mudahan MAPS atau ADR semakin tersosialisasi dengan baik dan semakin diterima sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Semoga bermanfaat

Memilih antara Penangguhan dan Pengalihan Penahanan


Dalam upaya pendampingan klien, umumnya kuasa hukum sering dibenturkan tentang status penahanan yang diterapkan penyidik atau penuntut umum atas kliennya. Sebagaimana diketahui, penahanan dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih. Penahanan juga dapat dilakukan atas tindak pidana seperti :


1.
Kebiasaan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan (Pasal 282 ayat (3) KUHP),
2.
Sengaja menyebabkan, mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan (Pasal 296 KUHP),
3.
Perlakuan tidak menyenangkan (Pasal 335 ayat (1) KUHPidana),
4.
Penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHPidana,
5.
Penganiayaan dengan direncanakan (Pasal 353 ayat (1) KUHPidana),
6.
Penggelapan (Pasal 372 KUHPidana),
7.
Penipuan (Pasal 378 KUHPidana),
8.
Membeli barang-barang tapi berniat tidak melunasi pembayarannya (Pasal 379 a KUHPidana),
9.
Nahkoda yang sesudah dimulai penerimaan atau penyewaan kelasi tetapi sebelum perjanjian habis sengaja dan melawan hukum menarik diri dari pimpinan kapal itu (Pasal 453 KUHPidana),
10.
Kelasi yang, bertentangan dengan kewajibannya menurut persetujuan kerja, menarik diri dari tugasnya di kapal Indonesia, jika menurut keadaan di waktu melakukan perbuatan, ada kekhawatiran timbul bahaya bagi kapal, penumpang atau muatan kapal itu (Pasal 454 KUHPidana),
11.
Anak buah kapal kapal Indonesia, yang sengaja dan melawan hukun tidak mengikuti atau tidak meneruskan perjalananyang telah di setujuinya (Pasal 455 KUHPidana),
12.
Penumpang kapal Indonesia yang di atas kapal menyerang nakoda, melawannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan sengaja merampas kebebasannya untuk bergerak atau seorang anak buah kapal Indonesia yang di atas kapal dalam pekerjaan berbuat demikian terhadap orang yang lebih tinggi pangkatnya (Pasal 459 KUHPidana),
13.
Menjadi penadah hasil kejahatan (Pasal 480 KUHPidana) dan
14.
Menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian (Orang yang berprofesi germo atau mucikari) (Pasal 506 KUHPidana).

Umumnya pula, ketika si klien dikenakan status penahanan, kuasa hukum atau keluarganya berupaya untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Memang permintaan penangguhan penahanan merupakan haknya tersangka/ terdakwa tetapi untuk dikabulkan atau tidaknya penangguhan penahanan tersebut merupakan wewenang si penyidik atau penuntut umum. Sesuai dengan arti kata penangguhan yang berarti tunda atau menunda maka dapat diartikan dengan adanya upaya penangguhan penahanan tidak lebih hanya menunda masa penahanan yang seharusnya dijalankan oleh si tersangka. Yang artinya, jika permohonan penangguhan penahanan tersebut dikabulkan maka masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan. Ini tentunya menjadi resiko tersendiri bagi si tersangka mengingat berkurangnya masa status tahanan lebih menguntungkan dibandingkan jika harus menjalani masa tahanan dihitung sejak putusan hakim memiliki kekuatan hukum tetap. Resiko yang lain yang juga harus diperhitungkan adalah masalah kewenangan dari si penyidik atau si penuntut umum, mengingat, sekali lagi, dikabulkan atau tidaknya penangguhan penahanan tersebut merupakan wewenang si penyidik atau penuntut umum. Jadi, jika di tingkat penyidikan permohonan penangguhan penahanan dikabulkan, belum tentu di tingkat kejaksaan penangguhan penahanan tersebut dikabulkan pula. Kalaupun misalnya di tingkat penyidik dan dikejaksaan penangguhan penahanan tersebut dikabulkan, berapa banyak uang jaminan yang harus dikeluarkan si klien mengingat atas nama "kewenangan dan jabatan" masing-masing instansi memiliki peraturan dan kekuasaan tersendiri untuk menentukan besaran uang jaminan. Belum lagi, jika penangguhan penahanan tersebut harus diajukan kembali kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara.

Atas uraian kerugian tentang upaya permohonan penangguhan penahanan seperti di atas, menjadi pertanyaan, apakah upaya permohonan penangguhan penahanan tersebut efektif ditengah proses hukum yang sedang dijalankan oleh klien ? Efektif tidaknya tentu menjadi ukuran yang subjektif, tergantung pada kondisi keuangan tersangka/ terdakwa dan keluarganya.

Lalu manakah yang lebih efektif untuk menghindar dari status penahanan ?

Sebenarnya, yang jauh lebih efektif adalah tetap menerima status penahanan tersebut sampai putusan hakim dapat keluar dan memiliki kekuatan yang hukum tetap. Hal ini lebih menguntungkan bagi si tersangka/ terdakwa untuk lepas dari jeratan hukum dan masa hukuman yang seharusnya dijalankan.

Sekiranya ternyata tersangka/ terdakwa masih tetap enggan untuk menjalankan masa penahanan, lebih baik mengupayakan permohonan pengalihan penahanan. Sama seperti penangguhan penahanan, pengalihan penahanan juga merupakan hak si tersangka/ terdakwa dan dikabulkan tidaknya menjadi kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim. Bedanya dalam pengalihan penahanan, tersangka/ terdakwa bisa mengajukan penahanan rumah atau penahanan kota. Ini tentunya lebih efektif dibandingkan penangguhan penahanan karena selama pengalihan penahanan, meskipun ditahan dirumah sendiri atau didalam kota tetap dihitung sebagai masa penahanan.

Pasal 22 KUHAP menyatakan bahwa jenis penahanan dapat berupa penahanan rumah tahanan negara; penahanan rumah atau penahanan kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.

Beda Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum


Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum.
Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri.

Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah :

1. Sumber;

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang."

Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :

a. tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjiakan,

Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata :

"Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang".

Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.

Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).

2. Timbulnya hak menuntut.

Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :

“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.

Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).

3. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)

Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata, “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.

Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).

Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.

Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).

Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :

Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976 menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.

Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.

Sertifikat Sebagai Bukti Hak Atas Tanah


Kita mengenal macam-macam sertifikat hak atas tanah, ada Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ataupun Sertifikat Hak atas Satuan Rumah Susun (SHSRS).
Sertifikat hak atas tanah menjadi dambaan dari setiap pemegang hak atas tanah. Serasa masih ada yang kurang dan belum mantap bila pemilikan atau penguasaan atas tanah itu belum disertai bukti pemilikan berupa sertifikat. Hal itu memang benar dan sudah selayaknya setiap orang mengusahakan agar ia memperoleh sertifikat karena Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 menjamin hal itu bahwa adalah hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat (UUPA Pasal 4 ayat 1).
Sertifikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA. Karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Diapun selanjutnya dapat membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud. Dan jika dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakanlah perubahan / pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertifikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud.
Selain fungsi utama tersebut diatas, sertifikat memiliki banyak fungsi lainnya yang sifatnya subjektif tergantung daripada pemiliknya. Sebut saja, misalnya jika pemiliknya adalah pengusaha, maka sertifikat tersebut menjadi sesuatu yang sangat berarti ketika ia memerlukan sumber pembiayaan dari bank karena sertifikat dapat dijadikan sebagai jaminan untuk pemberian fasilitas pinjaman untuk menunjang usahanya. Demikian juga contoh-contoh lainnya masih banyak yang kita bisa sebutkan sebagai kegunaan dari adanya sertifikat tersebut.
Yang jelas bahwa sertifikat hak atas tanah itu akan memberikan rasa aman dan tenteram bagi pemiliknya karena segala sesuatunya mudah diketahui dan sifatnya pasti serta dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Lalu apa yang dimaksud dengan sertifikat itu sendiri ? Untuk mengetahui hal ini, dapat diketengahkan bunyi Pasal 13 ayat 3 PP No.10 tahun 1961 yang menyebutkan bahwa ”Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”.
Dari ketentuan pasal itu kiranya jelaslah bagi kita apa yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah itu, yaitu sebagai salinan daripada buku tanah dan surat ukur tanah yang diikat menjadi satu. Asli sertifikat itu sendiri adanya di kantor BPN dan kepada tiap-tiap pemegang hak hanya diberikan salinannya saja.

PROSES PENSERTIFIKATAN TANAH
Di Indonesia, dikenal ada dua cara pendaftaran tanah yakni sporadik dan sistematik. Untuk cara sistematik karena ini berkaitan langsung dengan program pemerintah terasa tidak terlalu ada kendala dilapangan. Tetapi bagi yang menempuh cara sporadik atau yang inisiatifnya berasal dari pemilik tanah dengan mengajukan permohonan, pengalaman selama ini pada umumnya serasa banyak masalah. Tidak heran jika selama ini telah terbentuk kesan bahwa untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah itu sangat sulit, memakan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang mahal. Kesulitan itu biasanya timbul karena berbagai faktor seperti kurang lengkapnya surat-surat tanah yang dimiliki oleh pemohon, kesengajaan dari sementara oknum aparat yang memiliki mental tak terpuji dan/atau karena siklus agraria belum berjalan sebagaimana mestinya. Secara objektif harus diakui bahwa tatacara memperoleh sertifikat itu masih terlalu birokratis, berbelit-belit dan sulit dipahami oleh orang awam. Kenyataan ini sering menimbulkan rasa enggan untuk mengurus sertifikat bila tidak benar-benar mendesak dibutuhkan. Sering pula dirasakan bahwa jumlah biaya, waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mengurus sertifikat kadangkala tidak sebanding dengan manfaat langsung dari sertifikat itu sendiri. Oleh karena itu kiranya lebih bijaksana apabila diusahakan untuk memperpendek birokrasi tersebut sehingga pelayanan perolehan sertifikat dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, efektif dan efisien.
Tentang prosedur pengurusan dan penerbitan sertifikat sebetulnya sudah diatur dalam PP No.10 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Menurut ketentuan tersebut seseorang dalam mengurus sertifikatnya harus melewati 3 (tiga) tahap, yang garis besarnya adalah sebagai berikut :

Tahap 1 : Permohonan hak.
Pemohon sertifikat hak atas tanah dibagi menjadi 4 golongan, dan masing-masing diharuskan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu :

1) Penerima Hak, yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan pemberian hak yang dikeluarkan pemerintah cq. Direktur Jenderal Agraria atau pejabat yang ditunjuk. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
a. Asli Surat Keputusan Pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
b. Tanda lunas pembayaran uang pemasukan yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan pemberian hak atas tanah tersebut.

2) Para Ahli Waris, yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat ataupun hak-hak lain. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat :
a. Surat tanda bukti hak atas tanah, yang berupa sertifikat hak tanah yang bersangkutan.
b. Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama / perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
c. Surat Keterangan kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
d. Surat keterangan waris dari instansi yang berwenang.
e. Surat Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
f. Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
g. Keterangan pelunasan pajak tanah sampai saat meninggalnya pewaris.
h. Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.

3) Para pemilik tanah, yaitu mereka yang mempunyai tanah dari jual-beli, hibah, lelang, konversi hak dan sebagainya. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :

a. Bila tanahnya berasal dari jual beli dan hibah :
1) Akta jual beli / hibah dari PPAT.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan.
3) Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi / petok D lama / perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
4) Surat keterangan dari kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.
5) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
6) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
7) Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.

b. Bila tanahnya berasal dari lelang :
1) Kutipan otentik berita acara lelang dari kantor lelang.
2) Sertifikat tanah yang bersangkutan atau tanda bukti hak atas tanah lainnya yang telah kepala desa dan dikuatkan oleh camat.
3) Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.
4) Keterangan pelunasan / bukti lunas pajak tanah yang bersangkutan.
5) Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.
6) Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) yang diminta sebelum lelang.

c. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah adat, maka syarat-syaratnya adalah :
1) Bagi daerah yang sebelum UUPA sudah dipungut pajak :
• Surat pajak hasil bumi / petok D lama, perponding Indonesia dan segel-segel lama.
• Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
• Surat asli jual-beli, hibah, tukarmenukar, dan sebaginya.
• Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.
• Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dn tidk dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.
2) Bagi daerah yang sebelum UUPA belum dipungut pajak :
• Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.
• Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebagainya yang diketahui atau dibuat oleh kepala desa / pejabat yang setingkat.
• Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan.
• Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.

d. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah hak barat, misalnya eks tanah hak eigendom, syarat-syaratnya adalah :
1) Grosse akta.
2) Surat Ukur.
3) Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat berwenang.
4) Kuasa konversi, bila pengkonversian itu dikuasakan.
5) Surat pernayataan pemilik yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa, tidak dijadikan tanggungan hutang, sejak kapan dimiliki dan belum pernah dialihkan atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.
4) Pemilik sertifikat hak tanah yang hilang atau rusak. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :
a. Surat keterangan kepolisian tentang hilangnya sertifikat tanah tersebut.
b. Mengumumkan tentang hilangnya sertfikat tanah terseut dalam Berita Negara atau harian setempat.
c. Bagi pemohon yang sertifikatnya rusak, diharuskan menyerahkan kembali sertifikat hak atas tanah yang telah rusak tersebut.
Pada intinya semua keterangan diatas diperlukan untuk mengklarifikasi data guna kepastian hukum atas subjek yang menjadi pemegang hak dan objek haknya. Bila keterangan-keterangan tersebut terpenuhi dan tidak ada keberatan-keberatan pihak lain, maka pengurusan sudah dapat dilanjutkan ketahap selanjutnya..

Tahap 2 : Pengukuran dan Pendaftaran hak
Setelah seluruh berkas permohonan dilengkapi dan diserahkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka proses selanjutnya di kantor pertanahan adalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran haknya. Bila pengukuran, pemetaan dan pendaftaran itu untuk pertama kalinya maka ini disebut sebagai dasar permulaan (opzet), sedangkan bila kegiatan itu berupa perubahan-perubahan mengenai tanahnya karena penggabungan dan/atau pemisahan maka kegiatan itu disebut sebagai dasar pemeliharaan (bijhouding).
Untuk keperluan penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah tersebut dipergunakan 4 (empat) macam daftar yaitu : daftar tanah, daftar buku tanah, daftar surat ukur dan daftar nama.
Untuk kegiatan-kegiatan pengukuran, pemetaan dan lain sebagainya itu harus diumumkan terlebih dahulu, dan kegiatan-kegiatan tersebut akan dilakukan setelah tenggang waktu pengumuman itu berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak manapun. Untuk pemohon ahli waris dan pemilik tanah, pengumumannya diletakkan di kantor desa dan kantor kecamatan selama 2 bulan. Untuk pemohon yang sertifikatnya rusak atau hilang, pengumumannya dilakukan lewat surat kabar setempat atau Berita Negara sebanyak 2 kali pengumman dengan tenggang waktu satu bulan.
Dalam pelaksanaan pengukuran, karena hakekatnya akan ditetapkan batas-batas tanah maka selain pemilik tanah yang bermohon, perlu hadir dan menyaksikan juga adalah pemilik tanah yang berbatasan dengannya. Pengukuran tanah dilakukan oleh juru ukur dan hasilnya akan dipetakan dan dibuatkan surat ukur dan gambar situasinya.
Atas bidang-bidang tanah yang telah diukur tersebut kemudian ditetapkan subjek haknya, kemudian haknya dibukukan dalam daftar buku tanah dari desa yang bersangkutan. Daftar buku tanah terdiri atas kumpulan buku tanah yang dijilid, satu buku tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah. Dan tiap-tiap hak atas tanah yang sudah dibukukan tersebut diberi nomer urut menurut macam haknya.

Tahap 3 : Penerbitan sertifikat
Tahap terakhir yang dilakukan adalah membuat salinan dari buku tanah dari hak-hak atas tanah yang telah dibukukan. Salinan buku tanah itu beserta surat ukur dan gambar situasinya kemudian dijahit / dilekatkan menjadi satu dengan kertas sampul yang telah ditentukan pemerintah, dan hasil akhir itulah yang kemudian disebut dengan sertifikat yang kemudian diserahkan kepada pemohonnya. Dengan selesainya proses ini maka selesailah sertifikat bukti hak atas tanah yang kita mohonkan.
Untuk lancarnya tahap-tahap tersebut diatas, pemohon senantiasa dituntut untuk aktif dan rajin mengurus permohonannya itu. Segala kekurangan persyaratan bila mungkin ada, harus diusahakan untuk dilengkapinya sendiri. Kelincahan dalam mengurus kelengkapan dari syarat-syarat ini akan sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya penerbitan sertifikat. Untuk itu perlu adanya komunikasi aktif yang dilakukan oleh pemohon kepada petugas di Badan Pertanahan untuk mengetahui progres pengurusan / penerbitan sertifikatnya.

seni bernegoisasi dalam mediasi


Dalam sistem penyelesain sengketa perdata terdapat tahapan penyelesaian sengketa melaluai ruang Non litigasi (di luar peradilan) sebelum sengketa tersebut di proses di peradilan, penyelesain non litigasi tersebut dibagi dua yaitu Abritase dan Alternative Dispute Resolution (ADR), nah pada kesempatan kali ini kita coba membahas proses ADR tersebut.


Dalam sistem penyelesain sengketa perdata terdapat tahapan penyelesaian sengketa melaluai ruang Non litigasi (di luar peradilan) sebelum sengketa tersebut di proses di peradilan, penyelesain non litigasi tersebut dibagi dua yaitu Abritase dan Alternative Dispute Resolution (ADR), nah pada kesempatan kali ini kita coba membahas proses ADR tersebut.

Apakah sengketa tersebut dan mengapa terjadi sengketa ?
Sengketa : adalah perbedaan pendapat yang telah mengemuka
Pemicu sengketa :
1. Kesalahan Pemahaman;
2. Perbedaan penafsiran;
3. Ketidak jelasan penafsiran;
4. Ketidak puasan;
5. Ketersinggungan;
6. Kecurigaan;
7. Tindakan tidak patut, curang dan tidak jujur;
8. Kesewenang-wenangan, ketidak adilan;
9. Terjadi keadaan yang tidak terduga.

Sedangkan ADR sendiri memiliki beberapa karakteristik yaitu :
a. Privat sukarela, dan konsensual (disepakati para pihak);
b. Kooperatif, tidak agresif/bermusuhan dan tegang;
c. Fleksibel, tidak formal dan kaku;
d. Kreatif;
e. Melibatkan partisipasi aktif para pihak;
f. Bertujuan untuk mempertahankan hubungan baik.

Beberapa bentuk ADR :
a. Negoisasi – adalah penyelesaian kedua belah pihak tanpa keterlibatan pihak ketiga;
b. Mediasi – Penyelesain dengan mengunakan penengah (mediator) yang sifatnya pasif
c. Konsultasi – Penyelesain dengan mengunakan penengah (konsiliator) yang sifatnya aktif
d. Konsultasi;
e. Penilian/ meminta pendapat ahli
f. Evaluasi netral dini (early neutral evaluation)
g. Pencarian Fakata netral (neutral fact finding)

Sekarang kita coba mengulas hal-hal yang berkaitan dengan negoisasi, menurut Fisher R dan William Ury; Negoisasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda.

Keuntungan Negoisasi :
a. Mengetahui pandanga pihak lawan;
b. Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan;
c. Memungkinkan sengketa secara bersama-sama;
d. Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak;
e. Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum;
f. Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu.

Kelemahan Negoisasi :
a. Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak;
b. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil
kesepakatan;
c. Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang;
d. Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan;
e. Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak;
f. Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan.

Prasyarat Negoisasi yang efektif
a. Kemauan (Willingness) untuk menyelesaikan masalah dan bernegoisasi secara sukarela;
b. Kesiapan (Preparedness) melakukan negoisasi;
c. Kewenangan (authoritative) mengambil keputusan;
d. Keseimbangan kekuatan (equal bergaining power) ada sebagai saling ketergantungan;
e. Keterlibatan seluruh pihak (steaholdereship) dukungan seluruh pihak terkait;
f. Holistic (compehenship) pembahasan secara menyeluruh;
g. Masih ada komunikasi antara para pihak;
h. Masih ada rasa percaya dari para pihak
i. Sengketa tidak terlalu pelik
j. Tanpa prasangka dan segala komunikasiatau diskusi yang terjadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti

Tahapan Negoisasi menurut William Ury dibagi menjadi empat tahap yaitu :
Tahapan Persiapan :
1) Persiapan sebagai kunci keberhasialan;
2) Mengenal lawan, pelajari sebanyak mungkin pihak lawan dan lakukan penelitian;
3) Usahakan berfikir dengan cara berfikir lawan dan seolah-olah kepentingan lawan sama dengan kepentingan anda;
4) Sebaiknya persiapkan pertanyaan-pertanyaan sebelum pertemuan dan ajukan dalam bahasa yang jelas dan jangan sekali-kali memojokkan atau menyerang pihak lawan;
5) Memahami kepentingan kita dan kepentingan lawan;
6) Identifikasi masalahnya, apakah masalah tersebut menjadi masalah bersama?
7) Menyiapkan agenda, logistik, ruangan dan konsumsi;
8) Menyiapkan tim dan strategi;
9) Menentukan BTNA (Best Alternative to A Negitieted Agreement) alternative lain atau harga dasar (Bottom Line)

b. Tahap Orientasi dan Mengatur Posisi :
1) Bertukar Informasi;
2) Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan;
3) Mengajuakan tawaran awal.

c. Tahap Pemberian Konsensi/ Tawar Menawar
1) Para pihak saling menyampaikan tawaranya, menjelaskan alasanya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya;
2) Dapat menawarkan konsensi, tapi pastikan kita memperoleh sesuatu sebagai imbalanya;
3) Mencoba memahai pemikiran pihak lawan;
4) Mengidentifikasi kebutuhan bersama;
5) Mengembangkan dan mendiskusiakan opsi-opsi penyelesaian.

d. Tahapan Penutup
1) Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria obyektif
2) Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi lain yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalkan komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen

Untuk penyelesain melalui negoisasi kita cupkupkan sekian dulu untuk seni atau tips dan Trik negoisasi kita bahas pada kesempatan lebih lanjut, untuk selanjutnya kita coba menginjak pada pembahasan Mediasi.

Pengertian Mediasi : Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Meskipun demikianak septabilitas tidak berarti- para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga. Mediasi menurut P.1.6 PerMa No.2 Tahun 2003 : Yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dibantu oleh mediator.

Karakteristik Mediasi :
a. Intervesi mediator dapat diterima kedua belah pihak;
b. Mediator tidak berwenang membuat keputusan, hanya mendengarkan membujuk dan memberikan inspirasi kepada para pihak.

Mediasi Menurut Hukum Positif : Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.

Sifat Mediasi :
a. Wajib (Mandatory) P.2 (1) atas seluruh perkara perdata yang diajukan kepengadilan Tk.1
b. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses mediasi;
c. Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan para pihak untuk mediasi;
d. Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi dan biayanya;
e. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak;
f. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.

Hak memilih mediator oleh para pihak :
a. Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
b. Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar dalam PN tersebut;
c. Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama;
d. Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai mediator

Kewajiban Mediator :
a. Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
b. Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali kepentingan para pihak;
c. Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
d. Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
e. Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
f. Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
g. Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
h. Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen, catatan mediator wajib dimusnahkan

Waktu dan Tempat Mediasi :
a. Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di perpanjang;
b. 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
c. 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
d. Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak

Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
a. Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum;
b. Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim yang memeriksa perkara;
c. Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
d. Mediator dapat melakukan kaukus;
e. Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang ahli;
f. Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
g. Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
h. Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
i. Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.

Sekian dulu pembahasan mengenai Negoisai dan Meidasi sebagai alat penyelesai sengketa di luar pengedilan dimana pilihan penyelesain ini layak di pertimbangka karen adengan sistim peradilan di indonesia, biasayany proses penyelesaian perkara dipengadilan bisa sangat lama karena rumutnya sistem peradilan yang belum di susun rapi belum lagi ada beberapa tingkatan upaya hukum dari banding sampai kasasi, yang memakan banyak waktu .

Daftar Pustaka :
1. Gary Goodpaster, Panduan Negoisasi dan Mediasi, ELIPS jakarta 1999
2. Gunawan wijaya, Alternative Penyelesaian Sengketa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002
3. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 19:08 0 komentar
Label: Negosiasi Hukum
Seni Negosiasi dalam Perkara Non Litigasi
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Dalam Alternative Dispute Resolution (ADR) ada proses yang dinamakan negoisasi pada tulisan Negoisasi dan Mediasi saya yang telah lalu telah kita bahas tentang beberapa tahapannya, nah kali ini kita akan membahas bagaimana kita menerapkan Trik-trik dalam negoisasi yang dalam hal ini saya namakan seni bernegoisasi.

Seni negoisasi pertama :
1. Aturlah anggota tim kapan mereka harus aberbicara;
2. Cari waktu (hari) yang tepat;
3. Tentukan Ttempat yang tepat, Lebih baik ditempat lawan, karena Anda akan lebih mengetahui suasana lawan, atau tempat yang tidak memberatkan pembiayaan;
4. Aturlah tempat duduk untuk menghindari permusushan atau persilisahan, menguinakan tempat duduk dengan meja bundar, hal tersebut akan menciptakan kerjasama dimana seolah-oleh kedua pihak sedang menghadapi masalah yang sama;
5. Usahakan untuk mengetahui nama-nama yang terlibat dalam negoisasi agar lebih akrab;
6. Ciptakan suasana yang positif dan santai.

Seni negoisasi kedua :
1. Buatlah negoisasi ancar dengan menyetujui hal-hal yang kecil atau mudah disesuaikan. Tanguhkan masalah besar untuk waktu berikutnya, setelah kepercayaan terbangun;
2. Hindari konfrontasi pada awal negoisasi;
3. Jaga agar pihak yang mengajukan negoisasi yang harus mengajukan tawaran, kenudian baru anda yang mengajukan tawaran balik, seperti jual beli (penjual lebih dahulu mengajukan tawaran);
4. Jangan megajuakan tawaran lebih tinggi yang tidak masuk akal, tidak realistis demikian sebaliknya jangan mengajukan tawaran lebih rendah, hal demikian dapat meyebabkan pihak lawan tidak mau lagi berunding dan meningalkan ruang bernegoisasi;
5. Jangan bersifat agresif, memusuhi serta mendebat;
6. Negoisator yang baik adalah pendengar yang aktif dan jangan menginterupsi lawan Anda bicara, biarkan dia bicara ngelantur, jangan sekali-kali mengajukan pertanyaan untuk menunjukkkan kepandaian Anda, atau pertanyaan yang menimbulkan perdebatan;
7. Menghadapi konflik; Anda kemungkinan akan mengatakan hal-hal yang tidak enak didengar pihak lawan atau sebaliknya , karena itu sangat penting untuk memisahkan hal-hal yang sifatnya pribadi dengan maslah yang dihadapi, harus dijaga agar lawan tidak kehilangan muka.

Setrategi perundingan berdasarkan pada :
Bertumpu pada “ Posisi” (positional besed bargaining) yang terdiri; kompetitif (Hard) dan Kompromistis (Soft);
Bertumpu pada kepentingan (Interest based bargaining) dalam hal ini mengunakan joint problem solving.

Cukup sekian yang kita bahas dalam seni bernegoisasi kali ini dan ada beberapa hal yang penting di perhatikan oleh negoisator terkait dengan pengendalian emosi dan pengunaan humor yang dapat mencairkan kebekuan, dan membuat negoisasi menjadi santai, selamat bernegoisasi dan sukses.

Daftar Pustaka :
1. George Hartman, Seni Negoisasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1997.
2. Garad I Nierenbreg, Seni Negoisasi, Dhara Prize, Semarang, 1992.

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti


Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti

Dalam Hukum Acara Perdata

A. Teori Pembuktian

1. Pendahuluan

Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata.

Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.[1]

Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.[2]

Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.

2. Pengertian Pembuktian/membuktikan

”Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian:[3]

a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

b) Membuktikan dalam arti konvensionil

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:

- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)

- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis

Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.

Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.[4]

3. Prinsip-Prinsip Pembuktian

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.[5]

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.[6]

Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :[7]

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.[8] Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.[9]

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW[10], bahwa:

” Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”

4. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai.

Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :[11]

a) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

b) Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)

c) Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

5. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian

Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.

Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:[12]

a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)

Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.

b) Teori hukum subyektif

Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.

c) Teori hukum obyektif

Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.

d) Teori hukum publik

Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

e) Teori hukum acara

Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.

Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.

B. Alat-Alat Bukti

Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu[13] :

1. Surat-surat

2. Kesaksian

3. persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;

1. Surat-Surat[14]

Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.

Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).

Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.

Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi.

Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.

Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.

2. Kesaksian[15]

Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.

Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.

Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.

Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.

Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.

3. Persangkaan[16]

Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.

Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).

Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.

Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.

4. Pengakuan[17]

Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.

Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.

Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.

Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.

5. Sumpah[18]

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed).

Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara.

Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.

Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.

Daftar Pustaka

* R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII
* R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2005, Cet. XXV
* Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005, Cet. X
* R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995
* Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, Yogyakarta: Liberty, 2006, Cet. I


[1]R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: P.T. Intermasa, 2005), Cet. XXXII, Hal. 176

[2] Ibid

[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, (Yogyakarta: Liberty, 2006), Cet. I, Hal. 134-136

[4] Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005), Cet. X, Hal. 60

[5]Ibid, Hal. 59

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] R. Subekti, Op. Cit. 177

[9] Ibid

[10] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2005), Cet. XXV, Hal. 475

[11] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. 141

[12] Ibid, Hal. 143-147

[13] Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW

[14] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op. Cit 178-180

[15]Op. Cit 180-181

[16]Op. Cit. 181-182

[17]Op. Cit. 182-183

[18]Op. Cit. 183-185

Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa


Pelaksanaan Akad dan Akibat Hukum Perjanjian :

Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa

1. Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian[1] dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:[2]

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu[3]:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.

Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.[4]

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:[5]

1) Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

2) Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.

2. Sanksi

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu[6]:

1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2) Pembatalan perjanjian;

3) Peralihan resiko;

4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

3. Ganti Kerugian

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)

Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).[7]

Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:[8]

a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A

b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).

Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:

a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);

b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

4. Keadaan Memaksa (overmach)

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:[9]

a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;

b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;

c) Resiko tidak beralih kepada debitor;

d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.

Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif:

Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.

Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.

Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.

Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.

5. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah

Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.[10]

Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.

Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.

Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.

Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.

Daftar Pustaka

Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000

Pramono, Nindyo, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1985

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2005

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Purta Abadin, 1999


[1] Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, hal. 2.21

[2] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999), cet. 6, hal.18

[3] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985)

[4] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2005), cet. 36,

hal. 323

[5]Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.22

[6] Ibid, hal. 2.22-2.25

[7] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), cet. 32, hal. 148

[8] Nindyo Pramono, Op. Cit. 2.23

[9] R. Setiawan, Op. Cit. 27-28

[10] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. 1, hal. 120-121

contoh gugatan wanprestasi


26 09 2007
Jakarta,…………………………
Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Jl. Raya Ampera No.11
Jakarta Selatan
Perihal: Gugatan Wanprestasi
Dengan hormat,
Perkenankanlah Kami……………….. dan Rekan, Advokat pada Kantor Hukum…………………….. beralamat di ………………………………………….. Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus No………………………, tertanggal …………………… (terlampir) dari dan oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama ………………………., yang beralamat di ………………………………………………………………..
Selanjutnya disebut……….………………………………………..………………….…..PENGGUGAT.
Dengan ini mengajukan gugatan Wanprestasi terhadap:
PT…………………………………….., yang beralamat di ………………………………………………………………., Indonesia……………..selaku TERGUGAT.
Adapun alasan-alasan dan keadaan hukum yang menjadi dasar gugatan ini adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat adalah Pemegang Polis yang sah dari Asuransi Jiwa …………………………….yang dikeluarkan oleh ………………………………. (Tergugat), yang mana Penggugat menjadi nasabah asuransi tersebut untuk mengasuransikan orang tua (mertua)-nya yang bernama ………….. sebagai Tertanggung sebagaimana tertera dalam Polis Asuransi tertanggal 28 Agustus 2003 No. …………………………………… dengan uang pertanggungan sejumlah Rp. 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), dengan uang pertanggungan sejumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) (Bukti P-1);
2. Bahwa sebelum diterbitkannya Polis Asuransi tersebut, Penggugat dan Tertanggung telah mengisi formulir dan persyaratan yang diisyaratkan Tergugat antara lain mengisi formulir Surat Permintaan Asuransi Jiwa Perorangan (Bukti P-2), Pernyataan dan Surat Kuasa (Bukti P-3), memeriksa kesehatan Tertanggung (General Medical check up) dirumah sakit Pemerintah sehingga diterbitkan Sertifikat Kesehatan yang ditandatangani oleh dr.………………….. dari Rumah Sakit Umum ……………….. (Bukti P-4), serta dokumen lain sebagai persyaratan penerbitan Polis;
3. Bahwa setelah semua persyaratan di penuhi oleh Penggugat, selanjutnya Penggugat menyerahkan persyaratan tersebut kepada Tergugat untuk di analisa;
4. Bahwa pada tanggal 19 Agustus 2003, Tergugat mengirim surat kepada Penggugat perihal: penawaran extra premi permohonan asuransi jiwa, yang pada pokoknya Tergugat menerima permohonan Penggugat dengan perhitungan premi sebagai berikut: Premi Asuransi sebesar Rp. 18.876.000,- dan Premi Tambahan (extra Premi) Kesehatan Rp. 2.200.320,- sehingga Total Premi adalah Rp. 21.076.320,-
(Bukti P-5)
5. Bahwa setelah Penggugat menyetujui Penawaran sebagaimana dimaksud dalam butir 4 diatas, pada tanggal 27 Agustus 2003, Penggugat melakukan pelunasan pembayaran premi sejumlah Rp. 21.082.320,- (dua puluh satu juta delapan puluh dua ribu tiga ratus dua puluh rupiah); (Bukti P-6).
6. Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2003, Tergugat mengirim surat kepada Penggugat perihal pemberitahuan Akseptasi Asuransi Jiwa Perorangan, dan menyampaikan bahwa dalam waktu 14 hari Tergugat akan mengirim Polis Asli kepada Penggugat (Bukti P-7), demikian pula pada tanggal dan hari yang sama, Tergugat juga mengirim surat kepada Penggugat yang berisi ucapan terimakasih karena telah bergabung dengan Tergugat; (Bukti P-8).
7. Bahwa dengan demikian dengan diterbitkannya Polis Asuransi oleh Tergugat maka segala ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Penggugat adalah telah sah dan lengkap;
8. Bahwa karena antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi kesepakatan tentang Asuransi / pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 246 KUHD Jo. Pasal 247 KUHD yang tertuang dalam Polis No. 000002074331/1409 dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena Kecelakaan (Accident Death And Disablement Rider), kesepakatan mana telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata sehinga sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, Perjanjian antara Penggugat dan Tergugat berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak dan perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
9. Bahwa pada tanggal 26 September 2003 jam 15.00 WIB mertua Penggugat yang bernama …………….. (Tertanggung), mengalami kecelakaan jatuh dari tangga serta mendapat perawatan dr. ………………., dan mulai saat itu kondisi tubuh Tertanggung terus-menerus menurun;
10. Bahwa selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2003, mertua Penggugat (Tertanggung) meninggal dunia sesuai dengan Akta Kematian No. 09/CS/2003, tertanggal 4 Nopember 2003, yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Penduduk…………………; (Bukti P-10).
11. Bahwa sesuai dengan dengan Surat Keterangan Kematian yang dikeluarkan oleh dr………………………., penyebab kematian tertanggung adalah karena kecelakaan jatuh dari tangga ;(Bukti P- 11a dan Bukti 11b).
12. Dalam pasal 15 polis No. ………………………….. ditentukan bahwa “ Pertanggungan atas resiko meninggalnya tertanggung berlaku dalam keadaan dan oleh sebab apapun, kecuali meninggal dunia sebagai akibat dari :
Bunuh diri, dihukum mati oleh pengadilan, apabila peristiwa itu terjadi dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlaku atau dipulihkannya perjanjian asuransi ini.
Perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja, oleh mereka yang berkepentingan dalam asuransi.
Demikian pula dalam pasal 2 butir 1 Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena Kecelakaan (Accident Death And Disablement Rider) ditentukan bahwa:
Jika tertanggung mengalami kecelakaan dan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak kecelakaan terjadi , Tertanggung :
Meninggal dunia, 100 %(seratus persen) dari uang pertanggungan akan dibayarkan seperti dinyatakan dalam polis;
13. Bahwa karena penyebab kematian Tertanggung tidak termasuk dalam hal-hal yang dikecualikan dalam pertanggungan (pasal ……. Polis…………………………….. ), maka Tergugat berkewajiban untuk membayar Pertanggungan atas resiko meninggalnya Tertanggung kepada Penggugat selaku Pemegang Polis;
14. Bahwa pada tanggal 11 Nopember 2003, Penggugat mengajukan klaim kepada Tergugat dengan melampirkan semua dokumen yang dipersyaratkan, serta menyerahkan Polis Asli dan Kwitansi Premi Pertama, sesuai dengan tanda terima tertanggal 11 November 2003; (Bukti P- 12).
15. Bahwa selanjutnya Tergugat meminta kepada Penggugat untuk memberikan Nomor Rekening Penggugat di salah satu Bank di ……………, dan karena menurut Penggugat klaim yang diajukan tersebut akan di bayar, maka Penggugat mengirimkan nomor rekeningnya di Bank …………………….. Cabang Jl. …………………………;(Bukti P-13).
16. Bahwa pada tanggal 18 Februari 2004 Tergugat mengirim surat dengan No. Ref: 009/ALI-Claim/II/2004 yang pada pokoknya menyatakan Tergugat tidak bersedia melaksanakan kewajiban untuk membayar klaim atas meninggalnya ……………….. sebagai Tertanggung, dan secara sepihak Tergugat membatalkan Polis dengan alasan adanya keterangan yang ditutup-tutupi tentang kondisi kesehatan pada saat pengisian formulir permohonan asuransi, yaitu menurut data yang Tergugat dapatkan, Tertanggung pernah menderita penyakit Adeno Carsinoma Lambung (Kanker Lambung); (Bukti P-14).
17. Bahwa alasan yang diberikan oleh Tergugat tersebut adalah sangat mengada-ada dan tidak berdasarkan pada fakta-fakta karena senyatanya Tertanggung tidak pernah menderita penyakit Adeno Carsinoma Lambung (Kanker Lambung) sebagaimana didalilkan Tergugat. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil general check up tertanggung sehingga terbitnya Sertifikat Kesehatan atas nama Kartina yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Umum ……………………… yang ditandatangani oleh dr…………….; (vide Bukti P-4).
18. Bahwa seandainya Tertanggung menderita penyakit yang dituduhkan oleh Penanggung, maka tentu saja dr. …………………….. tidak akan menerbitkan Sertifikat Kesehatan. Dan oleh karena pada faktanya setelah melalui pemeriksaan medis yang sah kondisi Tertanggung dalam keadaan sehat baik jasmani ataupun rohani maka dr. …………….. kemudian mengeluarkan Sertifikat Kesehatan sehingga dengan demikian Sertifikat Kesehatan yang telah dikeluarkannya itu adalah sah menurut hukum;
19. Bahwa selain dari pada itu dalil Tergugat yang menyatakan Penggugat atau Tertanggung tidak memberikan informasi yang benar atas kondisi kesehatan dan juga menyatakan Tertanggung menderita Kanker Lambung adalah tidak didasarkan pada fakta-fakta yang benar atau tidak didasarkan pada hasil pemeriksaan medis yang sah, karenanya senyatanya hingga saat ini Tergugat tidak pernah memberikan fakta-fakta yang menjadi dasar ditolaknya klaim Penggugat;
Bahwa sehingga dengan demikian “Sertifikat Kesehatan yang dikeluarkan oleh dokter resmi pemerintah adalah lebih kuat dan akurat keabsahannya dari pada keterangan-keterangan yang diperoleh Tergugat karena telah dikeluarkan berdasarkan prosedur pemeriksaan medis yang benar. “
20. Bahwa senyatanya terbukti bahwa Tergugat hanya mengada-ada dan mencari-cari alasan untuk tidak membayar klaim yang diajukan oleh Penggugat, fakta mana dapat dilihat dari usaha Tergugat untuk menutupi perbuatannya Tergugat telah bertindak diluar prosedur asuransi yang wajar yaitu dengan cara mengembalikan premi yang telah dibayarkan oleh Penggugat kepada Tergugat sebesar Rp.21.076.320,- melalui transfer ke rekening Penggugat tanpa sepengetahuan dan persetujuan Penggugat, padahal lazimnya dalam dunia asuransi, sebelum penanggung mentransfer dana kepada pemegang polis, harus ada konfirmasi dan persetujuan dari pemegang polis terlebih dahulu. Dengan demikian terbukti bahwa permintaan nomor rekening Penggugat oleh Tergugat sebagaimana dimaksud dalam butir 15 diatas, adalah suatu jebakan dari Tergugat;
21. Bahwa Penggugat telah beberapa kali memperingatkan (mensomasi) Tergugat untuk melaksanakan kewajibannya, akan tetapi Tergugat tetap tidak melaksanakannya dengan berbagai alasan; (Bukti P-15a dan P 15-b)
22. Bahwa sesuai dengan uraian-uraian tersebut diatas, terbukti bahwa Tergugat telah Cidera Janji (wanprestasi) atas apa yang telah disepakati dalam Polis Program Asuransi …………… No. ………………………….. dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 1243 KUHPerdata, Tergugat berkewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya perikatan tersebut.
23. Bahwa adapun kerugian Penggugat akibat perbuatan Tergugat adalah sebagai berikut:
Kerugian Materil :
a. Uang pertanggungan akibat meningal dunia berdasarkan Polis Program Asuransi Smart Executive No. ……………………….. sejumlah Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah).
b. Uang pertanggungan meninggal dunia akibat kecelakaan berdasarkan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sejumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
c. Bunga sebesar 10% per bulan terhitung Penggugat mengajukan Klaim kepada tergugat yaitu sejak tanggal 11 Nopember 2003, sampai dengan Tergugat melaksanakan kewajibannya secara keseluruhan.
Kerugian Immaterill :
Bahwa karena perbuatan Tergugat tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang dimaksud, maka jelas sangat mengganggu Tergugat baik fikiran dan bathin, serta menyita waktu dimana Penggugat harus bolak-balik ke ………….. dan ……………….. untuk mengurus Klaim yang diajukan Penggugat dengan meninggalkan usahanya, kerugian mana tidak dapat dinilai dengan uang, akan tetapi patut dan wajar apabila Penggugat menuntut ganti kerugian Immateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
24. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan di kemudian hari tidak menjadi sia-sia (illusioir), maka sangatlah beralasan apabila terhadap harta benda milik Tergugat baik benda tetap maupun benda tidak tetap, terlebih dahulu diletakkan sita jaminan (conservatoir Beslag), yaitu:
Alat-alat perlengkapan kantor berupa komputer-komputer, meja-meja, alat-alat tulis kantor, kendaraan bermotor dan semua benda-benda bergerak yang berada di lingkungan tetapi tidak terbatas pada benda yang berada di ……………………………………………………………………………
25. Bahwa karena gugatan ini diajukan dan didukung oleh bukti-bukti otentik yang cukup dan dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya, maka Penggugat Mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk dapat memberikan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada verzet, Banding, Kasasi maupun upaya-upaya hukum lainnya (Uit Veortbaar Bij Voorrad);
Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan alasan-alasan yang telah Penggugat uraikan tersebut diatas, maka Penggugat mohon kiranya Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutuskan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan bahwa Perjanjian Asuransi Jiwa yang tertuang dalam Polis Program Asuransi Smart Executive No. ……………….. dan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER) adalah sah dan mengikat menurut hukum.
3. Menyatakan Tergugat telah cidera janji (wanprestasi) untuk melaksanakan kewajiban sesuai yang tercantum dalam Polis.
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar kerugian Penggugat yaitu :
Kerugian Materil :
a. Uang pertanggungan akibat meningal dunia berdasarkan Polis Program Asuransi Smart Executive No. …………………………. sejumlah Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah)
b. Uang pertanggungan meninggal dunia akibat kecelakaan berdasarkan Pertanggungan Tambahan Santunan Meninggal Dan Cacat Tetap Karena kecelakaan (ACCIDENTAL DEATH AND DISABLEMENT RIDER), sejumlah Rp. 300.000.000. (tiga ratus juta rupiah)
c. Bunga sebesar 10% per bulan terhitung Penggugat mengajukan Klaim kepada tergugat yaitu sejak tanggal 11 Nopember 2003, sampai dengan Tergugat melaksanakan kewajibannya secara keseluruhan.
Kerugian Immaterill sejumlah Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
5. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari, setiap kali Tergugat lalai melaksanakan Putusan ini.
6. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (Consevatoir Beslag) yang telah diletakkan diatas harta benda dan milik Tergugat berupa:
Alat-alat perlengkapan kantor berupa komputer-komputer, meja-meja, alat-alat tulis kantor, kendaraan bermotor dan semua benda-benda bergerak lainnya yang berada di lingkungan tetapi tidak terbatas pada benda yang berada di ………………………………………………………………….
7. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum Verzet, Banding maupun Kasasi (Uit Voerbaar Bij Voorrad).
8. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini.
Namun demikian :
Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ex Aeque Et Bono)
Hormat kami,
Kuasa Hukum Penggugat,